Salah satu fungsi agama, dan merupakan fungsi utamanya adalah memberikan rasa “aman” bagi pemeluknya. Nah, dari sini terlihat adanya kaitan antara “iman” dan “aman”. Baik melalui penelitian ataupun tanpa penelitian, masing-masing pemeluk agama meyakini secara mutlak kebenaran agamanya.
Ajaran agama diterima oleh penganutnya secara estafet, turun temurun dan terus begitu, yang jika kita runtut kebelakang, akan ditemukan sumber yaitu Tuhan yang diyakini oleh pemeluk agama tersebut. Secara pasati, setelah pembaca agama yang menjadi utusan tidak lagi berada ditengah-tengah umatnya, maka pastilah petunjuk-petunjuk yang dibawa mengalami perubahan interpretasi, bahkan memerlukan petunjuk-petunjuk praktis yang tadinya belum dikenal pada masa utusan tersebut ketika berada ditengah masyarakat. Apabila penganut agama tersebut meyakini interprets tersebt tunggal. Maka interpretasi tersebut menjadi absalut dikalangan mereka. Sebaliknya, apabila mengandung berbagai kemungkinan makna, maka ia menjadi relative.
Kesepakatan satu kelompok dalam satu agama untuk memberikan interpretasi tunggal dapat saja ditolak oleh kelompok lain dalam agama tersebut. Dan pada saat itulah pandangan kelompok pertama menjadi absolute, tetapi tidak absolute bagi kelompok yang lain walaupun begitu masing-masing kelompok tetap meyakini kebenaran agamanya, kebenaran islam sebagai agamanya. Nah, jika ini terusik, meskipun oleh jiwa pemeluknya sendiri, maka ketentraman jiwa juga akan terusik dan ini mengakibatkan hilangnya salah satu fungsi agama.
Pertanyaanya sekarang, apakah semua ajaran agama (islam) absolut?
Mengutip pernyataan Quraisy Syihab dalam bukunya, membumikan al-Qur’an: “para ulama berpendapat bahwa absolusitas ajaran agama islam haruslah berdasarkan argumentaasi-argumentasi yang pasti (tidak diragukan kebenarnya), baik sumber maupun interpretasinya. Dan mereka semua sepakat mengenai argumentasi yang diyakini umat islam adalah al-Qur’an dan amat sedikit dari Hadits-hadits nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan mutawatir. al-Qur’an dan hadits mutawatir, petunjuknya tidak secara otomatis menjadi absulut, kecuali ia mempunyai interpretsi tunggal dan tidak ada kemungkinan arti lain untuk teks tersebut”. Pernyataan ini mengingatkan pada surat al-Imran ayat 7: “Dialah yang menurunkan al-Kitab (al Quran) kepadamu. Diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat (ayat yang terang dan tegas maksudnya) dan itulah pokok-pokok isi al Quran dan yang lain mutasyabihaat (ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali melalui kajian yang cukup mendalam)”. Bahkan, Imam Syathibi juga menguatkan pendapat diatas: “sedikit sekali satu teks keagamaan baik dalam al Quran maupun dalam hadits yang secara berdiri sendiri dapat dipahami memiliki interpretasi tunggal (sehingga menjadi absolute). Dan hal ini menyimpulkan dalam menetapkan interpretasi tunggal harus didukung dengan sekumpuan argumentasi pendukung. Sebagai contoh, bagaimana kita memahami perintah, “..sesungguhnya sholat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang mukmin”(an-Nisa:103). Perlu adanya pengumpulan argumentasi yang mendukung, baik dari ayat-ayat al Quran pada surat atau juz yang lain, juga hadits.
Kaidah ini, yang kemudian membuka peluang bagi perbedaan interpretasi dari ayat-ayat maupun hadits. Khususnya setelah pertumbuhan penduduk yang sedemikian pesat serta keanekaragaman kebudayaan (selain juga factor yang dikemukakan diatas). “manusia tadinya satu kesatuan, kemudian mereka berselisih (al Baqarah:213). Pun demikian, bukankah islam mengajarakan akan perbedaan?, bukankah kehendak Allah lah, perbedaan umat manusia itu ada? Firman Allah dalam surat Hud ayat 118: “seandainya Tuhan menghendaki niscaya Dia menjadikan manusia satu umat (tetapi tuhan tidak menghendaki itu) sehingga mereja akan terus menerus berbeda pendapat”.
Perbedaan manusia telah menjadi kehendak Tuhan, agar terjalin kerja sama antar merka serta perlombaan dalam kebaikan demi mencapai keridhoanNya. “ wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari pria dan wanita, dan kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu semua saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa”. (al Hujurat:13).
Kelemahan manusia antara lain, karena semangatnya yang menggebu-gebu, sehingga diantara mereka ada yang bersikap melebihi sikap Allah, menginginkan agas seluruh manusia satu pendapat menjadi satu aliran atau satu fikrah. Semangat yang menggebu-gebu ini pulalah yang mengantarnya memaksakan pandangannya yang absolute (menurut dirinya) untuk orang lain. Padahal Allah sendiri memberikan kebebasan kepada setia orang untuk memilih jalannya sendiri, “siapa yang ingin percaya, silakan dan siapa yang menolak terserah baginya” (al Kahfi:29). Bahkan, ada orang yang mutlah jatuhkan siksaan Allah kepada selain golongannya atau yang (mungkin) berbeda dengan fikrahnya, dengan membid-ah-bid’ahkan atau mungkin mengkafirkan, seakan-akan ingin membatasai rahmat Allah. Padahal Allah menyatakan, RahmatKu mengalahkan amarahKu. Al Qur’an juga mengabadikan ucapan nabi Isa as, saat ummatnya diadili karena menyekutukan Allah: “apabila Engkau menyiksa mereka, maka mereka adalah hamba-hambaMu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (al Maidah; 118). Wallahu a’lam bisshawab.
Minggu, 01 Mei 2011
Tentang Perbedaan dan Absolutisitas Pemahaman
10.37
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar