Firman Allah: “Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Dalam kehidupan yang kita alami ini, terlihat dengan jelas adanya keberpasangan. Ada malam ada siang, ada pagi ada sore, ada senang ada susah, ada jantan ada betina, demikian seterusnya. Hanya Sang Khaliq, Allah swt yang tidak ada pasangan-Nya, tidak ada pula keserupaan-Nya. Listrik pun berpasangan, ada arus positif dan ada arus negative, bumi tempat yang kita huni pun, ada kutubnya yang negative ada juga yang positif, bahkan atom yang tadinya diduga merupakan wujud yang terkecil dan tidak dapat terbagi, ternyata ia pun berpasangan dari electron dan proton. Dengan keberpasangan itu, lahirlah kerjasaman dan dengan kerjasama, hidup bersinambung lagi harmonis. Masing-masing secara berdiri sendiri memiliki keistimewaan tetapi juga kekurangan. Dengan keberpasangan, tercipta kesempurnaan dan menyatu keistimewaan itu.
Bunga-bunga yang mekar dengan indahnya, bertujuan antara lain merayu burung dan lebah agar mengantar benihnya ke kembang lain untuk dibuahi. Bukan hanya binatang dan tumbuh-tumbuhan, bahkan atom pun (yang negative dan positif) electron dan proton bertemu untuk saling tarik menarik demi memelihara eksestensinya. Demikian naluri makhluk, yang dianugerahkan Allah kepadanya. Masing-masing memiliki pasangan dan berupaya bertemu dengan pasangannya. Agaknya tidak ada satu naluri yang lebih dalam dan kuat dorongannya melebihi naluri dorongan pertemuan dua lawan jenis, pria dan wanita, jantan dan betina, positif dan negative. Itulah ciptaan dan pengaturan Allah.
Manusia dalam keberpasangannya berbeda dengan binatang. Pada umumnya ada waktu-waktu tertentu bagi binatang untuk melakukan hubungan seks. Sekian banyak binatang tidak melakukannya setelah betinanya mengandung, berbeda dengan manusia. Di sisi lain, kecenderungan seksual umumnya binatang hanya muncul pada musim bunga, tidak setiap waktu. Karena itu, “kita mendzalimi binatang” ketika memaki seseorang yang mengumbar nafsunya tanpa batas dengan menyatakan “nafsunya seperti binatang”, sebab hakikatnya nafsu manusia apalagi yang durhaka melebihi nafsu binatang bahkan tak mengenal batas.
Keberpasangan adalah aksi dari satu pihak yang disambut dengan reaksi penerimaan oleh pihak lain, satu mempengaruhi dan yang lain dipengaruhi. Atas dasar inilah law of sex berjalan, dan atas dasar itu pula alam raya diatur Allah.
Jika kita mengakui bahwa keberpasangan merupakan ketetapa ilahi yang berlaku umum (dan ini harus diakui karena kenyataan membuktikannya) maka harus diakui pula bahwa ia bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi bersih, suci lagi terhormat dan selalu harus bersih suci dan terhormat. Itu salah satu sebab mengapa dalam surat yasin ayat 36 tersebut dimulai dengan kata subhana/maha suci Allah. Tidak dibenarkan adanya noda pada seks, dan setiap noda yang mungkin muncul harus segera dihindari. Dari sini pertemuan laki dan perempuan harus disertai kebersihan dan kesucian.
Selanjutnya jika kita mengakui bahwa aksi dan reaksi atau pengaruh mempengaruhi merupakan kodrat segala sesuatu. Maka, harus diakui pula bahwa tiada keistimewaan bagi yang melakukan alsi dari segi fungsinya sebagai pelaku, dan tidak juga ada kekurangan bagi yang menerima reaksinya. Walaupun harus diakui bahwa yang melakukan aksi lebih kuat dari yang menerima. Seandainya jarum tidak lebih keras dari kain atau pacul tidak lebih kuat dari tanah, maka tidak aka ada jahit menjahit, tidak juga ada hasil pertanian. Karena itu, jantan atau lelaki, selalu mengesankan kekuatan dan penguasaan, sementara betina atau perempuan mengesankan kelemahlembutan dan penerimaan. Namun demikian, sekali lagi kekuatan atau kelemahlembutan disini, sama sekali tidak menunjukkan superioritas satu pihak atas pihak yang lain, tetapi masing-masing memiliki keistimewaannya dan masiing-masing membutuhkan yang lain guna tercapainya tujuan bersama.
Bagi manusia, mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Ketersendirian (dan lebih hebat lagi keterasingan) sungguh dapat menghantui manusia karena manusia pada dasarnya adalah makhluk social, makhluk yang membawa sifat dasar ketergantunga.
Memang sewaktu-waktu manusia bisa merasa senang dalam kesendiriannya, tetapi tidak untuk selamanya. Manusia telah menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain akan membantunya mendapatkan kekuatan dan membuatnya lebih mampu menghadapi tantangan. Karena alasan-alasan inilah maka manusia menikah, berkeluarga, bahkan bermasyarakat dan berbangsa. Tetapi harus diingat bahwa keberpasangan manusia bukan hanya didorong oleh desakan naluri seksual, tetapi lebih dari itu, ia adalah dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan. Ketenangan itu yang didambakan oleh suami khususnya saat ia keluar rumah dan anak istrinya, dan dibutuhkan pula oleh istri lebih-lebih ketika suami meninggalkannya keluar rumah. Ketenangan serupa juga dibutuhkan anak-anak bukan saja saat berada ditengah keluarga, tetapi sepanjang masa. Entah apa yang terjadi dalam detik-detik jantung seorang perempuan dan lelaki yang berpasangan secara sah, sehingga bersedia menurut istilah al-Qur’an dalam surat an-Nisa: 21 (afdha ba’dhukum ila ba’dh). wallahu a’lam bisshowab..